Senin, 30 April 2012

"Fraud" dalam laporan keuangan asuransi TKI


Membongkar kecurangan asuransi TKI. Ada penyimpangan prinsip dasar UU perlindungan TKI

Selama ini kecurangan sistem asuransi tenaga kerja Indonesia (TKI), terutama terhadap TKI yang mengalami masalah saat bekerja di luar negeri, tidak banyak yang diungkap dan dipermasalahkan. Kasus ini seakan dianggap hal yang lumrah saja dan tidak perlu dipermasalahkan.
Padahal, kasus kecurangan itu secara sistematis telah banyak memakan korban TKI yang mengalami masalah serius, misalnya yang mengalami kecelakaan kerja, meninggal dunia, penyiksaan, pemerkosaan, pelecehan seksual, PHK sepihak, majikan bermasalah, TKI yang gila, TKI yang hilang, TKI yang di bawah umur, TKI yang dipekerjakan tidak sesuai dengan perjanjian kerja, dan upah mereka yang tidak dibayar oleh pihak majikan.
Modus kecurangannya sangat jelas kerena dilakukan secara terbuka dan dilegalkan oleh negara atas nama undang-undang dalam hal ini dilaksanakan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans).
Pemerintah melakukan pungutan sah pembayaran asuransi oleh perusahaan pengerah tenaga kerja Indonesia swasta (PPTKIS) kepada calon TKI (CTKI) sebesar Rp350.000-Rp400.000 per TKI yang disetorkan kepada perusahaan konsorsium asuransi TKI.
Pada kenyataan konsorsium tersebut hanya mengutamakan keuntungan yang sebesar-besarnya, dan sebaliknya mereka tidak mau bertanggung jawab terhadap nasib para TKI yang bermasalah, dengan alasan sederhana karena tidak dipenuhinya persyaratan untuk pengajuan klaim asuransi sebagaimana yang telah ditetapkan.
Persyaratan itu meliputi antara lain: 1. Waktu pengajuan selambat-lambatnya 30 hari sejak terjadinya kerugian; 2. Menyertakan dokumen surat keterangan dari KBRI/KJRI/Perwakilan RI di negara penempatan; 3. Menyertakan formulir laporan kerugian yang diisi lengkap oleh peserta asuransi/penerima manfaat; 4. Menyertakan kartu peserta asuransi.
Persyaratan seperti itu pada umumnya tidak dipahami oleh TKI dan keluarganya, karena masalah kondisi pendidikannya yang rata-rata hanya sampai tingkat SD, dan tidak punya akses informasi yang memadai untuk memahami persyaratan itu. Mereka juga tidak berdaya untuk mengurus sendiri persyaratan tersebut.
Sepertinya terkesan mereka para TKI dan keluarganya itu telah dikondisikan untuk tidak mengurus dan menuntut hak asuransinya itu dengan berbagai siasat yang direncanakan. Yang sering ditemukan terjadi adalah tidak diberikannya dokumen yang dibutuhkan untuk persyaratan mengajukan klaim asuransi tersebut.
Dalam hal ini, kuat dugaan adanya kemungkinan persekongkolan yang terencana dari oknum PPTKIS/PJTKI dengan perusahaan konsorsium asuransi TKI, sehingga tidak heran jika yang terjadi adalah sebagian besar dari TKI dan keluarganya yang berhak atas asuransi itu hanya pasrah saja.
Akibatnya sangat banyak uang asuransi yang semestinya menjadi hak mereka itu hangus dan menumpuk hanya untuk mengisi pundi-pundi perusahaan konsorsium asuransi TKI.
Sebagaimana pernah disinyalir dan dipermasalahkan oleh para pejabat Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), bahwa selama 2008 saja, jumlah klaim asuransi yang belum dibayarkan oleh konsorsium asuransi TKI itu mencapai perkiraan angka Rp20 miliar.
Dengan angka sebesar Rp20 miliar itu diperkirakan bahwa perusahaan konsorsium asuransi TKI telah menahan klaim asuransi sebanyak 2.000 orang TKI bermasalah tanpa alasan yang dapat dibenarkan oleh hukum. Dengan temuan itu, BNP2TKI berencana untuk membawa kasus ini ke Mabes Polri.
Penyimpangan asuransi
Pada prinsipnya kewajiban PPTKIS dalam Pasal 68 Ayat (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri terkait dengan program asuransi adalah merupakan suatu upaya positif yang harus dilihat sebagai upaya untuk melindungi TKI yang mengalami masalah di luar negeri.
Namun, prinsip baik tersebut ternyata tidak semulus apa yang dituangkan dalam undang-undang yang dalam implementasinya kemudian diserahkan dengan suatu peraturan menteri.
Sampai ke tingkat peraturan menteri ini, maka diaturlah berbagai hal mengenai persyaratan tertentu bagi perusahaan konsorsium asuransi TKI, dilengkapi dengan penerbitan surat keputusan menteri yang langsung berhubungan dengan perizinan operasional bagi perusahaan konsorsium asuransi TKI yang diputuskan memenuhi syarat tersebut.
Tentu saja, secara aturan sebagaimana tertuang di dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. PER-23/MEN/ V/2006 tentang Asuransi Tenaga Kerja Indonesia tidak ada hal yang menggambarkan bahwa penyimpangan terhadap prinsip dasar undang-undang itu secara sengaja dikehendaki.
Namun, dalam kenyataannya yang berkaitan dengan perusahaan asuransi tertentu, konsorsium justru dengan leluasanya melakukan penyimpangan terhadap prinsip dasar UU yang sedianya dimaksudkan untuk melindungi TKI yang mengalami masalah di luar negeri dengan program asuransi yang bertanggung jawab.
Jadi, masalahnya terletak pada, pertama; adanya praktik kecurangan perusahaan asuransi itu dengan tidak membayarkan asuransinya kepada TKI dan keluarganya yang berhak untuk menerima itu.
Kedua, adanya kebablasan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam pemberian izin operasional yang tidak disertai kontrol dan pembinaan yang ketat, serta penindakan hukum yang cepat dan tegas sebagai pertanggungjawaban pemerintah kepada publik.
Sistem asuransi TKI yang berorientasi pada perlindungan TKI dan keluarganya memang harus dilakukan secara bertanggung jawab dalam arti yang sepenuhnya oleh perusahaan konsorsium asuransi TKI.
Dengan demikian, keberadaan perusahaan konsorsium asuransi TKI dan program asuransi-nya itu benar-benar dirasakan manfaatnya dan sangat dibutuhkan oleh TKI dan keluarganya.
Dalam upaya mewujudkan ke arah itu, maka bagi perusahaan konsorsium asuransi TKI diperlukan suatu perubahan paradigma.
Yang sebelumnya hanya berorientasi mencari dan mengedepankan keuntungan yang sebesar-besarnya yang didapat dari TKI, berubah menjadi paradigma memberikan perlindungan asuransi yang optimal kepada TKI dan keluarganya, khususnya bagi TKI yang mengalami masalah di luar negeri.
Perubahan paradigma itu menjadi sangat bermakna bagi tanggung jawab kemanusiaan dan solidaritas sosial perusahaan konsorsium asuransi TKI, karena bagaimanapun selama ini peran para nasabah TKI yang jumlahnya sangat besar itu telah banyak memberikan keuntungan.
Tidak saja keuntungan materiel, tetapi juga imateriel yang akan terus meningkatkan pencitraan perusahaannya pada masa mendatang.

Kecurangan Dalam Asuransi
Dalam praktek pertanggungan asuransi merupakan perjanjian dengan unsur saling percaya antara penanggung dan tertanggung. Penanggung percaya bahwa tertanggung akan memberikan segala keterangan dengan baik dan benar. Dilain pihak tertanggung juga percaya bahwa kalau terjadi peristiwa penanggung akan membayar ganti rugi. Saling percaya tersebut merupakan dasar dari asas kejujuran, yang merupakan asas yang sangat penting dalam setiap perjanjian pertanggungan, sehingga harus dipenuhi oleh para pihak yang mengadakan perjanjian untuk menghindari terjadinya kecurangan asuransi.
Dewasa ini asas kejujuran sempurna lebih dikenal dengan sebutan principle of utmost good faith atau uberrimae fidei. Good faith secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai itikad baik. Dengan demikian utmost good faith dapat diterjemahkan sebagai itikad baik yang sebaik-baiknya/sempurna. Prinsip tersebutlah yang sampai saat ini dimiliki oleh AJB Bumiputera 1912, sehingga AJB Bumiputera 1912 tetap menjadi lembaga terbaik. Sebenarnya secara umum asas itikad baik dan kejujuran sempurna dapat diartikan bahwa masing-masing pihak dalam suatu perjanjian yang akan disepakati demi hukum mempunyai kewajiban untuk memberikan keterangan atau informasi yang selengkap-lengkapnya, yang akan dapat mempengaruhi keputusan pihak yang lain untuk memasuki perjanjian atau tidak, baik keterangan yang demikian itu diminta atau tidak. Istilah fraud (Inggris) atau fraude (Belanda) sering diterjemahkan sebagai bentuk perbuatan curang terhadap asuransi (insurance fraud) sebenarnya sudah diantisipasi dalam Pasal 251 KUH Dagang “Semua pemberitahuan yang keliru atau tidak benar, atau semua penyembunyian keadaan yang diketahui oleh tertanggung, meskipun dilakukannya dengan itikad baik,yang sifat demikian rupa, sehingga perjanjian itu tidak akan diadakan, atau tidak diadakan dengan syarat-syarat yang sama, bila penanggung mengetahui keadaan yang sesungguhnya dari semua hal itu, membuat pertanggungan itu batal”.
Dalam tatanan hukum Indonesia tindak pidana curang (fraud) terhadap perusahaan asuransi yang diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) dipersamakan dengan tindak pidana penipuan sebagaimana termaktub dalam Pasal 381. Pasal 381 “Barangsiapa dengan akal dan tipu muslihat menyesatkan orang menanggung asuransi tentang hal ikhwal yang berhubungan dengan tanggungan itu, sehingga ia menanggung asuransi itu membuat perjanjian yang tentu tidak akan dibuatnya atau tidak dibuatnya dengan syarat serupa itu, jika sekiranya diketahuinya keadaan hal ikhwal yang sebenar- benarnya, dihukum penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan”. Yang menjadi panduan bagi praktisi asuransi di Indonesia menyamakan pengertian fraud dengan tindak pidana penipuan, dan memberi pengertian fraud sebagai: Tindakan penipuan, misrepresentatisi fakta penting yang dibuat secara sengaja, dengan maksud orang lain mempercayai fakta itu dan akibatnya orang itu menderita kesukaran keuangan”.
Berdasarkan beberapa definisi tersebut di atas, dapat dilihat bahwa fraud atau kecurangan memiliki empat Kriteria yang harus dipenuhi, yaitu:
1. tindakan tersebut dilakukan oleh pelaku secara sengaja;
2. adanya korban;
3. korban menuruti kemauan pelaku;
4. adanya kerugian yang dialami oleh korban
Bentuk Kecurangan Dan Penyalagunaan Dalam Industri Asuransi
Berdasarkan sifatnya, penulis membagi bentuk kecurangan asuransi kedalam dua kategori yaitu:
a. Menyembunyikan fakta material (misrepresentation material fact)
b. Klaim palsu (false claim)
Menyembunyikan Fakta Material (misrepresentation material fact) yaitu pengungkapan fakta-fakta yang material dengan sejujur-jujurnya merupakan suatu kewajiban yang mutlak yang harus dilakukan oleh masing-masing pihak dalam suatu perjanjian pertanggungan. Keterangan atau fakta-fakta dan informasi yang harus diungkapkan sebelum melakukan perjanjian pertanggungan, dapat dikategorikan sebagai berikut:
a. fakta yang berdasarkan faktor internal yang menunjukkan risikonya lebih besar dari yang diperkirakan dari sifat atau kelompoknya;
b. fakta dari faktor eksternal menjadi risikonya lebih besar dari yang normal;
c. fakta yang membuat kemungkinan jumlah kerugian lebih besar dari yang diperkirakan;
d. data kerugian dan klaim dari polis terdahulu (kalau ada);
e. penolakan yang pernah dilakukan atau persyaratan yang dikenakan oleh penanggung lainnya (kalau ada)
f. fakta yang membatasi hak subrogasi;
g. adanya polis non indemnity;
h. fakta yang berkaitan dengan subject matter of insurance.
Pentingnya fakta-fakta atau informasi-informasi yang bersifat material diungkapkan karena setiap fakta material tersebut dapat mempengaruhi penanggung dalam penerimaan atau penolakan risiko, atau dalam penetapan premi atau kondisi dan persyaratan kontrak adalah material dan harus diungkapkan. Tidak diungkapkannya fakta-fakta material merupakan awal dari kecurangan dalam suatu pertanggungan asuransi.
Sedangkan klaim palsu adalah suatu upaya untuk melakukan penagihan atau permintaan pembayaran kepada seseorang atau perusahaan berdasarkan data yang diketahuinya adalah palsu atau data yang telah direkayasa. Klaim palsu selalu diikuti dengan tindak pidana lain misalnya memalsukan dokumen-dokumen penting sehubungan dengan klaim, melakukan rekayasa kejadian, perbuatan yang direncanakan dengan standar untuk mengelabuhi pihak-pihak tertentu dengan maksud-maksud mengambil keuntungan, membuat hasil pengujian laboratorium palsu, membuat surat keterangan dokter palsu, dan lain-lain yang merupakan dasar untuk dapat mengajukan klaim.
Klaim palsu biasanya dilakukan dengan unsur kesengajaan dari orang-orang yang berkepentingan terhadap asuransi, misalnya pemegang polis yang bukan menjadi tertanggung dan atau ahli waris. Klaim palsu atau klaim yang tidak benar atau yang menyesatkan selalu melibatkan adanya konspirasi dari orang lain yang turut membantu untuk memuluskan jalannya klaim palsu misalnya dokter atau agent. Klaim palsu merupakan bentuk umum kecurangan yang paling sering terjadi dalam industri asuransi, tujuannya adalah untuk mendapatkan pembayaran yang tidak semestinya dia terima. Adanya klaim palsu merupakan salah satu hal yang disebabkan oleh sulitnya pengajuan klaim oleh nasabah. Sebab-sebab yang menyebabakan sulitnya mengajukan klaim hádala sebagai berikut:
• kesalahan informasi saat pengisian formulir asuransi,
• tidak lengkapnya bukti atau data-data yang mendukung klaim,
• tidak mengikuti prosedur klaim yang berlaku
• klaim yang diajukan ternyata tidak termasuk resiko yang ditanggung dalam polis
• ada tagihan premi asuransi yang belum terbayar
• dan lain sebagainya
Dalam mengajukan klaim asuransi, jangan lupa memperhatikan periode pertanggungan asuransinya. Jangan sampai klaim yang diajukan melebihi batas waktu pertanggungan yang ditentukan dalam polis asuransi. Kalau terlewat, bisa jadi klaim asuransi tidak bisa dicairkan.

Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar